Minggu, 27 Juni 2010

Bab 1 Anjuran Menunaikan Ibadah Haji. Hadits ke-1

Hadits ke-1

Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa menunaikan ibadah haji untuk mendapatkan keridhaan Allah swt, dan ia tidak mengucapkan perkataan maksiat dan tidak melakukan perbuatan keji, maka ia akan kembali dalam keadaan bersih dari dosa sebagaimana pada hari ketika ibunya melahirkannya.” ( H.R. Muttafaq ‘Alaih; Misykat ) 

Keterangan
Ketika bayi baru lahir, ia dalam keadaan maksum, tidak mempunyai dosa sedikit pun. Seperti inilah hasilnya haji yang dikerjakan semata-mata karena Allah swt.. Berdasarkan hadits-hadits tentang haji, sebagian ulama mengatakan bahwa dosa yang diampuni dengan ibadah haji adalah dosa besar dan dosa kecil. Akan tetapi, kebanyakan ulama berpendapat bahwa yang diampuni adalah dosa-dosa kecil saja. Sebagaimana telah dijelaskan di permulaan kitab Fadhilah Shalat, yang dimaksud diampuninya dosa sebagaimana disebutkan dalam hadits ini adalah dosa-dosa kecil. Di dalam hadits di atas, Rasulullah saw. menyebutkan tiga perkara. Pertama, Ibadah haji hendaknya dikerjakan semata-mata karena Allah swt., jangan ada tujuan keduniaan, baik untuk mencari ketenaran atau yang lain. Banyak sekali dijumpai orang yang menunaikan haji untuk mencari ketenaran dan kehormatan. Orang seperti itu telah memubazirkan harta karena ia tidak mendapatkan pahala dari hajinya itu, meskipun dengan cara seperti itu kewajiban haji telah gugur dari pundaknya. Namun jika haji dikerjakan dengan ikhlas, di samping kewajiban haji akan gugur dari tanggungannya, pahala yang besar juga akan diperoleh. Dengan demikian, betapa besarnya kerugian yang ditanggung oleh orang yang menyia-nyiakan pahala yang sangat besar hanya karena ingin menjadi terkenal di kalangan beberapa orang saja. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Menjelang hari kiamat nanti, orang-orang kaya dari kalangan umatku akan menunaikan ibadah haji dengan tujuan berekreasi dan bersenang-senang (yakni daripada melancong ke Paris lebih baik melancong ke Hijaz). Dan orang kelas menengah dari kalangan umatku akan berhaji dengan maksud untuk berdagang, mereka membawa barang dagangan dari sini ke sana dan dari sana ke sini. Para ulama berhaji dengan tujuan untuk ditunjuk-tunjukkan kepada orang lain dan mencari ketenaran ( bahwa Pak Kyai anu telah pergi haji lima kali atau sepuluh kali )  . Dan orang-orang miskin pergi berhaji dengan tujuan untuk meminta-minta.” ( Kanzul Ummal )   Para ulama menulis bahwa orang-orang yang melakukan haji badal untuk mendapatkan upah, yakni bertujuan mendapatkan manfaat dunia termasuk dalam golongan orang yang melakukan haji untuk berdagang. Masalah ini juga akan dibicarakan dalam keterangan hadits ke-15. Dalam hadits yang lain disebutkan bahwa para penguasa dan para raja pergi berhaji dengan tujuan bersenang-senang, orang kaya dengan tujuan berdagang, orang miskin bertujuan meminta-minta, dan ulama bertujuan mencari kemasyhuran.” (Ithaaf)
Di antara kedua hadits di atas tidak ada pertentangan, karena pengertian orang kaya dalam hadits pertama adalah orang yang sangat kaya, yang di dalam hadits kedua disebutkan sebagai penguasa. Dan orang kaya yang disebutkan di dalam hadits kedua adalah orang kaya yang tingkatannya di bawah para penguasa yang menurut hadits pertama disebutkan sebagai orang tingkat menengah.
Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa suatu ketika Umar r.a. sedang duduk di antara Shafa dan Marwah. Tiba-tiba sekelompok orang yang baru saja turun dari untanya datang di Masjid Haram dan bertawaf di sekitar Ka’bah. Kemudian mereka melakukan Sa’i antara Shafa dan Marwah. Setelah selesai, Umar r.a. bertanya kepada mereka dari mana mereka datang. Mereka menjawab bahwa mereka datang dari Irak. Umar r.a. bertanya, “Untuk apa kalian datang kemari?” Mereka menjawab, “Untuk haji.” Dan ketika Umar r.a. bertanya kepada mereka mengenai kemungkinan adanya niat yang lain, mereka menjawab, “Tidak ada.” Maka Umar r.a. berkata, “Mulailah beramal.” Yakni semua dosa kalian yang lalu telah diampuni.
Kedua, dalam hadits di atas disebutkan bahwa dalam menunaikan ibadah haji jangan ada Rafats, yakni perkataan yang keji. Sebelumnya, perkataan Rafats, yang berarti mengucapkan perkataan yang tidak senonoh, telah disebutkan di dalam ayat suci Al-Qur’an. Para ulama telah menerangkan bahwa kalimat ini adalah kalimat yang singkat tetapi padat, termasuk di dalamnya segala macam perkataan yang sia-sia, kotor, dan tidak sopan. Bahkan membicarakan masalah bersetubuh di hadapan istrinya, dan isyarat dengan mata atau tangan yang menunjukkan perkataan yang tidak baik pun termasuk di dalamnya. Dan semuanya itu dilarang karena menimbulkan nafsu dan birahi.
Perkara ketiga yang disebutkan dalam hadits di atas adalah Fusuq, yakni jangan melakukan perbuatan yang keji. Kata ini pun telah disebutkan di dalam ayat sebelumnya. Para ulama telah menerangkan bahwa kalimat ini adalah kalimat yang singkat tetapi padat, yakni meliputi segala macam kemaksiatan kepada Allah swt. dan termasuk juga bertengkar, karena ini merupakan perbuatan yang keji.
Di dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Kebaikan haji adalah berbicara dengan ramah dan memberi makan.” Maka bertengkar dan berbantah-bantahan dengan jamaah haji yang lain bertentangan dengan sopan santun dalam berbicara. Oleh karena itu sangat penting bagi setiap jamaah haji untuk tidak mengkritik orang lain sesama jamaah haji, tidak berbicara dengan kasar, dan melewati mereka dengan penuh tawadhu’ dan akhlak yang baik. Para ulama menerangkan bahwa akhlak yang baik bukan saja berarti tidak menyakiti orang lain, akan tetapi akhlak yang baik adalah menahan dan bersabar atas kesakitan yang datang dari orang lain.
Kata Safar, ditinjau dari segi bahasa artinya menampakkan. Para ulama menerangkan bahwa mengapa perjalanan dinamakan Safar (dalam bahasa Arab), karena akhlak seseorang akan tampak ketika dalam perjalanan. Umar r.a. berkata kepada seseorang, “Apakah engkau kenal dengan si Fulan, orangnya bagaimana?” Orang itu menjawab, “Ya, saya kenal dia.” Umar r.a. bertanya lagi, “Apakah engkau pernah bepergian bersamanya?” Ia menjawab, “Tidak pernah.” Umar r.a. berkata, “Kalau begitu, engkau tidak kenal dia.” Di dalam sebuah hadits disebutkan bahwa suatu ketika, di hadapan Umar r.a. ada seseorang yang sedang memuji orang lain. Umar r.a. bertanya kepadanya, “Apakah engkau pernah bepergian bersamanya?” Orang itu menjawab, “Tidak pernah.” Umar r,a. bertanya kepadanya lagi, “Apakah engkau pernah melakukan perdagangan dengannya?” Orang itu menjawab, “Belum pernah.” Maka Umar r.a. berkata, “Lalu, dari mana engkau mengetahui keadaannya?” ( Ithaaf .)
Sebenarnya, hanya dengan melakukan perjalanan bersama-sama, akhlak seseorang dapat diketahui. Terkadang secara sepintas, akhlak seseorang tampak baik, akan tetapi di dalam perjalanan sering terjadi kesusahan yang membawa kepada pertengkaran. Oleh karena itu, di dalam Al-Qur’an disebutkan secara khusus, ‘Dan jangan berbantah-bantahan’ dalam menunaikan haji.

0 komentar:

What Does This Blog Talk? Blog ini Bicara Tentang...

Blog ini berusaha menyampaikan kutipan-kutipan ayat-ayat suci Al Qur'an maupun hadits-hadits Nabi SAW, mengenai keutamaan melaksanakan ibadah haji dan umroh. Semoga bermanfaat ya...

Lorem Ipsum

  © Blogger templates Romantico by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP